Kamis, 17 Februari 2011

Evaluasi Guru terhadap siswa

Di akhir semester, biasanya para guru diminta untuk memberikan penilaian hasil belajar siswa selama satu semester. Penilaian ini akan masuk ke dalam lapran hasil belajar siswa atau raport yang akan dibagikan oleh wali kelas kepada orang tua siswa.

Seorang guru dituntut untuk menguasai kemampuan memberikan penilaian kepada para peserta didiknya. Kemampuan ini adalah kemampuan terpenting dalam evaluasi pembelajaran. Dari penilaian itulah seorang guru dapat mengetahui kemampuan yang telah dikuasai oleh para peserta didiknya.

Seorang guru harus pula mengetahui kompetensi dasar (KD) apa saja yang telah dikuasai oleh peserta didiknya, dan segera mengambil tindakan perbaikan ketika terjadi nilai peserta didiknya lemah atau kurang sesuai dengan harapan. Dari penilaian yang dilakukan oleh guru itulah, guru melakukan perenungan diri atau refleksi dari apa yang telah dilakukan.

Prof. Dr. H. Arief Rachman pernah mengatakan kepada kami para guru di Labschool Jakarta bahwa ada 4 kesadaran yang penting bagi seorang guru atau pendidik dalam memberikan penilaian. Keempat kesadaran itu adalah:

1. Sense of goal (tujuan)

2. sense of regulation (keteraturan)

3. sense of achievement (berprestasi)

4. sense of harmony (keselarasan)

Berangkat dari keempat kesadaran itulah seharusnya seorang guru melakukan penilaian. Pendidik harus sudah tahu tujuan penilaian itu adalah mengukur kemampuan atau kompetensi siswa setelah dilaksanakannya proses pembelajaran.

Bila guru melakukan penilaian akan terlihat nanti kemampuan setiap siswa setelah guru melaksanakan test atau ujian dan kemudian melakukan penilaian. Ketika guru telah memahami benar tujuan pembuatan soal yang sesuai dengan indikator dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai oleh siswa atau peserta didik, maka guru yang bersangkutan akan dengan mudah membuat soal-soal test yang akan diujikan. Dari situlah guru melakukan bobot penilaian yang telah ditentukan lebih dahulu dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Bila semua itu telah direncanakan dengan baik, maka tujuan pembelajaran akan tercapai.

Tercapainya tujuan pembelajaran dapat terlihat dari prestasi siswa yang menggembirakan di akhir semester. Di situlah seorang guru dapat berbangga diri karena telah sukses dalam mentransfer ilmunya.

Dalam melakukan penilaian, seorang guru harus menyadari adanya sense of regulation (keteraturan). Guru harus membuat soal-soal yang penuh dengan keteraturan, dan sesuai dengan kisi-kisi soal yang telah dibuat sebelumnya. Ketika keteraturan telah menjadi kesadaran guru bahwa soal dibuat dalam rangka mengetahui kemampuan siswa, maka harus sesuai dengan aturan atau regulasi sekolah. Apakah dibuat dalam bentuk multiply chois atau berbentuk essay. Semua itu bergantung dari kesepakatan di antara sesama dewan guru dalam menentukan bentuk soal dan sistem penilaian.

Penilaian yang dilakukan oleh guru harus mampu membuat setiap siswa berprestasi, dan menemukan potensi unik yang dimiliki oleh setiap siswa. Akan terlihat nantinya, siswa mana yang unggul di bidang MIPA (matematika dan Ilmu Pengetahuan alam), olahraga, art (seni), dan lain sebagainya.

Di sinilah peran guru yang memiliki kesadaran sense of achiement. Ketika terlihat ada siswa yang mengalami masalah dalam pembelajarannya, maka guru perlu melakukan Achievement Motivation Training (AMT) untuk memberikan motivasi dan semangat kepada siswa bahwa mereka sebenarnya bisa. Hanya mungkin faktor kemalasan yang membuat siswa yang bersangkutan mendapatkan nilai rendah. Ingatlah! Tak ada siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang malas.

Dalam blog akhmad sudrajat, dituliskan bahwa banyak orang sering mencampur adukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda.

Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) mengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.

Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.

Sedangkan penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.

Tes adalah cara penilaian yang dirancang oleh guru, dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.

Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.

Dari definisi di atas sangat jelaslah pengertian dari Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment). Namun demikian, pastilah terjadi perbedaan dalam menguraikan defenisi di atas. Semua itu berpulang dari sudut mana kita melihatnya.

Oleh karena itu penilaian siswa harus memenuhi sense of harmony dimana terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Ketika itu telah terjadi dalam standar penilaian kita di sekolah, maka siswa akan merasakan keadilan dari nilai yang diberikan oleh guru. Guru dan siswa merasakan bahwa sistem penilaian yang diberikan sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. dimana guru bisa melihat kemampuan setiap peserta didik, dan peserta didikpun merasakan kemampuan apa yang telah dikuasainya. Terjadilah penilaian obyektif dari pendidik kepada para peserta didiknya.

Akhirnya, penilaian siswa yang dilakukan oleh seorang guru dalam mengetahui kemampuan akademik dan non akademik peserta didiknya haruslah mengacu kepada kesadaran yang bertujuan, keteraturan, berprestasi, dan menjadi alunan harmony yang selaras, serasi, dan seimbang. Guru harus sering berdiskusi dengan teman sejawat agar penilaian tak menjadi subyektif. Guru harus bisa menentukan model penilaian apa yang harus diputuskan dan diaplikasikan dalam evaluasi pembelajaran.

Selamat menilai siswa!. Jangan rugikan peserta didik kita dalam penilaian, karena ketidakmampuan guru dalam memberikan penilaian yang obyektif.

Evaluasi Kinerja Guru Oleh Siswa

Dalam manajemen kinerja, setiap guru harus dinilai kinerjanya sehingga dapat diketahui sejauhmana proses dan hasil kerja guru yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kendati demikian, selama ini, evaluasi kinerja guru cenderung banyak dilakukan oleh atasannya (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah), sementara siswa jarang dilibatkan untuk menilai kinerja gurunya.

Penilaian kinerja guru oleh siswa merupakan salah satu teknik penilaian untuk mengidentifikasi kinerja guru, yang hingga saat ini keberadaannya masih kontroversi. Di satu pihak, ada sebagian orang yang berpendapat bahwa pelibatan siswa untuk mengukur kinerja guru kurang tepat. Berbeda dengan kepala sekolah atau pengawas sekolah yang memang telah dibekali pengetahuan dan keterampilan bagaimana seharusnya guru mengajar, sedangkan siswa dianggap kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki kematangan dan keahlian untuk melakukan penilaian tentang gaya mengajar guru. Selain itu, mereka menganggap bahwa siswa cenderung lebih mengukur popularitas dari pada kemampuan guru itu sendiri.

Di lain pihak, tidak sedikit pula yang memberikan dukungan terhadap penggunaan teknik penilaian kinerja guru oleh siswa. Aleamoni (1981) mengungkapkan argumentasi penggunaan teknik penilaian kinerja guru oleh siswa, yaitu:

1. Para siswa merupakan sumber informasi utama tentang lingkungan belajar, termasuk di dalamnya tentang motivasi dan kemampuan mengajar guru.
2. Para siswa pada dasarnya dapat menilai secara logis tentang kualitas, efektivitas, dan kepuasan dari materi dan metode pembelajaran yang dikembangkan guru.
3. Penilaian kinerja guru oleh siswa dapat mendorong terjadinya komunikasi antara siswa yang bersangkutan dengan gurunya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan proses belajar mengajar.
4. Dalam mata pelajaran tertentu, hasil penilaian kinerja guru oleh siswa dapat dimanfaatkan untuk membantu siswa-siswa lain dalam memilih mata pelajaran dan memilih guru yang sesuai dengan dirinya.
5. Dalam pendidikan yang berorientasi pada mutu, siswa pada dasarnya merupakan pelanggan (costumer) utama yang harus didengar pendapat dan pemikirannya atas pelayanan pendidikan yang diberikan gurunya.

Menepis persoalan ketidakmatangan siswa untuk dilibatkan dalam evaluasi kinerja guru, studi yang dilakukan Peterson dan Kauchak (1982) menemukan bukti bahwa evaluasi kinerja guru oleh siswa ternyata dapat menunjukkan konsitensi dan reliabilitas yang tinggi dari satu tahun ke tahun berikutnya. Demikian juga, siswa ternyata dapat membedakan pengaruh pembelajaran yang efektif dan tidak efektif dilihat dari dimensi sikap, minat dan keakraban guru.

Memperhatikan pemikiran Aleamoni dan hasil studi yang dilakukan Peterson dan Kauchak tersebut, mungkin tidak ada salahnya di sekolah Anda mulai dikembangkan penilaian kinerja guru oleh siswa, baik yang digagas oleh siswa, guru atau kepala sekolah. Selama evaluasi kinerja oleh siswa ini didesain dan diadministrasikan sesuai dengan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip evaluasi, maka data yang dihasilkan akan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perbaikan mutu dan efektivitas pembelajaran siswa.

SISWA DAN PERMASALAHANNYA

Banyak sekali permasalahan siswa yang dihadapi sekarang ini sehingga mengganggu proses belajar mengajar, dari mulai masalah pribadinya sendiri, masalah keluarga dan atau masalah yang di hadapi dalam pergaulannya sehari - hari dalam lingkungannya, kebanyakan dari para siswa membawa permasalahannya permasalahannya tersebut kedalama lingkungan sekolah.
Dalam upaya membantu penyelesaian Masalah tersebut sangat di harapkan peran aktif seorang Guru yang dapat membantu menyelesaikan masalah siswa tersebut, disini penulis berusaha memberikan gambaran - gambaran dasar dari hasil pemikiran penulis sendiri. setelah di praktekkan oleh penulis sendiri ternyata cara ini cukup efektip.

BAB I
PENDAHULUAN
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi Kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Ibarat biji mangga bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengn baik, pasti menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi pohon jambu.
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam
bagan berikut ini:
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di beberapa SMP Negeri, banyak masalah yang dihadapi oleh siswa SMP tersebut, dari mulai terlambat masuk kelas, membolos sampai yang paling parah, yaitu hamil diluar nikah. Masalah –masalah yang dihadapi oleh siswa seyogyanya dapat di konsultasikan dengan Guru BK terkait.

Dapat kita lihat bahwa peran seorang Guru BK sangat dibutuhkan dalam hal ini. Oleh karena itu, seorang guru BK harus dapat mengelompokkan atau mengkategorikan masalah dalam beberapa kelompok. Dalam makalah ini akan dibahas pengelompokan masalah berdasarkan pegelompokan menurut Prayitno agar dalam penanganan masalah siswa dapat mudah diatasi oleh siswa yang bersangkutan dengan dibantu oleh guru BK.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Masalah
Kata “masalah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) berarti sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan). Masalah merupakan sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit seseorang mencapai maksud dan tujuan tertentu (Winkel, 1985). Kondisi bermasalah dengan demikian mengganggu dan dapat merugikan individu maupun lingkungannya. Prayitno (2004a:4) mengungkapkan masalah seseorang dapat dicirikan sebagai “(1) sesuatu yang tidak disukai adanya, (2) sesuatu yang ingin dihilangkan, dan/atau (3) sesuatu yang dapat menghambat atau menimbulkan kerugian, ...”. Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri masalah tersebut dapat dirumuskan bahwa masalah pada diri individu adalah suatu kondisi sulit
yang memerlukan pengentasan dan apabila dibiarkan akan merugikan.
B. Pengelompokan Masalah Siswa
Sebelum kita menginjak pada pengelompokan masalah menurut Prayitno, kita akan membahas sifat hakikat manusia. Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normative karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat manusia.

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Pada bagian ini sifat hakikat tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau ditilik dari sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang akan dibahas dan dimensi inilah yang digunakan untuk mengelompokan masalah, yaitu:
1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”,sesuatu yang merupakan suatu
keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide).
Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, Individu dan Masyrakat: 4.) Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri.
Dari hasil observasi didapatkan yang termasuk dalam kelompok ini adalah : tidak yang tidak merasa diperhatikan yang akhirnya mereka atau siswa banyak yang membolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan, sering mencari perhatian dengan melakukan hal- hal yang negative.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J Langeveld (M.J.Langeveld,1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima.
Dari hasil observasi, masalah yang termsuk dalam kelompok ini adalah banyak siswa yang kurang dapat berinteraksi dengan siswa yang lain, adanya gank-gank atau kelompok-kelompok siswa yang saling bermusuhan satu dengan yang lain, yang paling banyak terjadi adalah saat KBM para siswa tidak memperhatikan guru dalam mengajar atau tidak ada interaksi antara guru dan siswa.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi .Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyrakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertiaan susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Pelcehan-pelecehan yang sering terjadi yang pada umumnya dilakukan oleh siswa putra terhadap siswa putri adalah salah satu dari berbagai permasalahan dari dimensi kesusilaan. Selain itu, kepantasan dalam berpakaian atau seragam adalah yang sekarang umum terjadi di berbagai sekolah terutama pada siswa putri yang menggunakan bawahan diatas lutut lebih dari 10 centimeter.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum mengenal agama manusia telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masalah-masalah siswa di sekolah di kelompokan dalam 4 dimensi , yaitu keindividualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Dimana keempat dimensi tersebut merupakan dimensi sifat dan hakekat manusia.
B. Saran
Dalam penanganan masalah siswa, guru harus dapat mengetahui, mengamati, menganalisis, mengelompokan masalah-masalah siswanya kedalam kelompok-kelompok tertentu seperti pengelompokan masalah yang disebutkan diatas. Masalah-masalah yang dialami siswa di kelompokan menurut sifat hakikat manusia. Yang tujuannya membantu siswa mengatasi masalah yang dihadapinya.

Sabtu, 12 Februari 2011

GURU SEBAGAI PENDIDIK PROFESIONAL

DiZaman yang terus berkembang ini Tenaga Guru sangatlah penting sekali karena dari kemampuannya mengajar guru dapat menciptakan manusia - manusia yang dapat memajukan negara ini akan tetapi disamping itu juga masih banyak seorang guru yang belum memahami benar apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang guru sehingga mereka belum dapat menjadi seorang guru yang Profesional dan di harapkan, sebagaimana harapan masyarakat dari tangan seorang guru mereka dapat menjadi pintar setidak - tidaknya mereka dapat mengikuti perkembangan zaman yang terus berkembang sangat pesat di balik himpitan ekonomi yang terjepit, disini penulis berusaha untuk memberikan gambaran-gambaran dasarnya bagaimana harapan Pemerintah dan masyarakat seorang guru dapat bekerja secara Profesional.

GURU SEBAGAI PENDIDIK PROFESIONAL
A. Pengertian guru dan professional
Secara pengertian tradisional guru adalah seorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan (guru professional dan implementasi kurikulum,syafruddin nurdin dan basyiruddin usman.
Sedangkan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.( Undang-undang system pendidikan Nasional No 20. Tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasional) Dengan menelaah dari pengertian guru diatas dapat disimpulkan bahwa seorang guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan saja yang berada di depan kelas akan tetapi guru merupakan tenaga professional yang dapt menjadikan murid-muridnya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan masalah yang dihadapi.
Professional berasal dari kata profesi yang mempunyai makna menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan pada pekerjaan itu.. (guru sebagai profesi. Drs.Suparlan. Halm. 71). Sedangkan kata professional adalah yakni orangnya dan penampilan atau kinerja orang tersebut dalam
melaksanakan tugas atau pekerjaannya. Dari kata professional kemudian terbentuklah istilah profesionalisme yang memiliki makna menunjuk pada derajat atau tingkat penampilan seseorang sebagai seorang yang professional dalam melaksanakan profesi yang ditekuninya.
B. Ciri-ciri pekerjaan dapat disebut sebagai profesi
Setidaknya-tidaknya ada 5 hal suatu pekerjaan dapat dibilang sebagai sebuah profesi

1. Adanya pengakuan oleh masyarakat dan pemerintah mengenai bidang layanan tertentu, dan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai keahlian tertentu pula.
2. Bidang ilmu pengetahuan yang menjadi landasan teknik dan prosedur kerja yang unik yang memeliki karakteristik yang berbeda dengan bidang pekerjaan lainnya.
3. Memerlukan proses persiapan yang sengaja dan sistematis sebelum orang mengerjakan professional tersebut.
4. Memiliki mekanisme yang diperlukan untuk melakukan seleksi secara efektif. Sehingga hanya mnerekalah yang benar-benar kompetitif diperbolehkan melaksanakan bidang tersebut.
5. Memiliki organisasi profesi yang dapat melindungi anggotanya,serta berfungsi untuk menyakinkan pihak nlain yang terkait bahwa para anggota profesi tersebut dapat menyelenggarakan layanan keahlian yang terbaik.
Profesionalisme guru didukung oleh tiga hal yang amat sangat penting, tiga hal tersebut adalah keahlian, komitmen dan keterampilan. Untuk dapat meningkatkan tugasnya dengan baik pemerintah selalu memperbaharui undang-undang tentang keguruan baik secara langsung maupun yang diatur dalam permendiknas.
C. Standar kompetensi guru
Seorang pendidik setidaknya memiliki empat kompetensi yaitu:
1. Kompetensi pedagogi
Kompetensi ini berkaitan dengan penguasan materi,
2. Kompetensi sosial
Kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan pendidik dapat berinteraksi dengan baik, baik komunikasi dengan masyarakat, peserta didik, lembaga pendidikan, sesama pendidik dan yang lainnya yang menyangkut menuntut kemampuan berinteraksi.
3. Kompetensi personal
Kompetensi ini berhubungan dengan dirinya sendiri baik sebagai pendidik maupun sebagai warga Negara.
4. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian menuntut seorang pendidik mempunyai kepribadian yang baik, diantaranya amanah,dapat dipercaya, jujur dan bertanggung jawab.
D. Program pembinaan profesionalisme guru
Pada masa sekarang ini sedang gencar-gencarnya pembinaan agar guru menjadi tenaga yang professional, pemerintah melalui undangundangnya menetapkan undang-undang guru dan dosen dimana para pendidik disyaratkan telah lulus SI untuk TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan disyaratkan lulus S2 untuk tenaga pengajar di Universitas (UU 14. Tahun 2005 tentang undang-undang guru dan dosen).
Ada beberapa program pemerintah untuk menjadikan guru sebagai tenaga professional, diantaranya yaitu dengan menetapkan Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, Permen Diknas No.16 tahun 2007 tentang standar kompetensi guru, melakukan program sertifikasi guru/pendidik professional, mensarjanakan para guru/pendidik yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil yang belum lulus S1.
Dengan berbagai ketentuan diatas diharapkan seorang pendidik dapat menjadi tenga yang benar-benar professional sehingga mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) segenap warga Negara Indonesia, sehingga Negara Indonesia menjadi Negara yang maju dalam pendidikan.

PROFESIONALISME GURU SEBAGAI TENAGA KEPENDIDIKAN DALAM MEMPERSIAPKAN LULUSAN YANG PROFESIONAL, SUDAH SIAPKAH?

Secara umum pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menanggulangi dampak krisis multidimensi yang berkelanjutan. Sedangkan secara mikro, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia, antara lain : meningkatkan daya saing bangsa, menciptakan suatu organisasi pendidikan yang sehat, dan pencapaian baku mutu pendidikan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Perkembangan dunia kerja yang semakin kompleks, termasuk dunia pendidikan, melahirkan tuntutan dan kemampuan yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan nyata dunia kerja bersangkutan. Berbagai perkembangan baru dalam bidang pendidikan tenaga kependidikan di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kemampuan
professional guru maupun tenaga kependidikan perlu dikembangkan secara
berkelanjutan.
Pemahaman mutu pencapaian kompetensi guru sebagai produk LPTK perlu adanya kesamaan persepsi, dimana Sertifikat profesi adalah bukti formal sebagai pengakuan kewenangan bagi yang telah memiliki kualifikasi akademik minimal (dimana sertifikat kompetensi termasuk di dalamnya). Karena Guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan yang cukup berperan menentukan kualitas lulusan, namun guru itu sendiri juga berada dalam satu dilema permasalahan baik dari sudut kualitas maupun kesejahteraan. Oleh karena itu implementasi kurikulum harus dapat menjembataninya dalam mencapai kemajuan yang berbudaya tanpa ada yang dikorbankan.
Terdapat tiga tingkatan kualifikasi profesional guru, yaitu capability, inovator, dandeveloper.Capability maksudnya adalah guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pemelajaran secara efektif.Inovator maksudnya sebagai tenaga pendidik yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan serta sikap yang tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus merupakan penyebar ide pembaharuan yang efektif.Developer maksudnya guru harus memiliki visi dan misi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru harus mampu melihat jauh ke depan dalam mengantisipasi dan menjawab tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem.

A. PENDAHULUAN
Krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia yang dimulai dengan krisis finansial dan ekonomi pada tahun 1997, telah melahirkan suatu krisis total dari sebuah kehidupan masyarakat. Krisis ini menunjukkan betapa tidak berdayanya pendidikan, upaya pendidikan seolah olah tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan para founding fathers kita ketika menyusun UUD 1945, yaitu manusia susila yang cakap di dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, adil, dan makmur. Pengalaman pahit semasa krisis ini meminta kepada kita untuk mencari dan mengembangkan sendi-sendi baru pendidikan nasional. Sendi-sendi perkembangan anak perlu dikaji ulang.
Dalam era global kita tidak bisa lagi berpangku tangan sebagai penonton, tetapi harus menjadi pemain. Peran pemain menuntut kemampuan untuk menghadapi tantangan dalam perkembangan global. Hal ini perlu disadari karena dalam era seperti ini tantangan untuk bersaing akan semakin kuat. Persaingan pada tingkat global berkembang seiring dengan pengaruh kuat seluruh inovasi teknologi dan komunikasi yang dapat menembus dan mengubah sifat hidup dan pekerjaan.
Globalisasi memang meniadakan sekat-sekat wilayah(borderless), semua menyatu sehingga kejadian disatu tempat akan mudah mengalir ke tempat yang lain dalam waktu yang relatif cepat. Inilah yang juga dirasakan oleh negara kita sehingga sejak reformasi tahun 1998 diikuti dengan penguatan demokrasi.
Perkembangan secara global menunjukkan semakin dibutuhkannya keahlian profesional dan sikap profesional. Meningkatnya tuntutan masyarakat atas kebutuhan keahlian profesional dan sikap profesional menimbulkan satu reaksi yang berkembang cepat di masyarakat yang bertujuan dapat mengisi kebutuhan sesuai dengan perkembangan diberbagai bidang yang semakin kompleks dan membutuhkan penagangan dan pengamanan yang semakin sempurna. Dengan demikian maka diperlukan sumber daya manusia yang memiliki ketangguhan daya saing dan kualitas yang tinggi.
Sumber daya manusia seperti itu sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara dalam abad globalisasi yang akan menghadapi persaingan yang semakin berat dan ketat dalam semua aspek kehidupan di sepanjang abad XXI. Kesuksesan menghasilkan warga negara sebagai sumber daya manusia yang kompetitif dan berkualitas seperti dimaksud di atas, sangat tergantung pada kualitas penyelenggaraan kegiatan atau proses belajar-
mengajar di sekolah dan lembaga pendidikan sejenis yang diselenggarakan untuk seluruh lapisan rakyat Indonesia. Sedang dalam kenyataannya sulit untuk dibantah bahwa kualitas kegiatan atau proses belajar mengajar tersebut, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor guru dalam mengimplementasikan jabatan/pekerjaan sebagai sebuah profesi. Guru dan/atau tenaga kependidikan yang terdiri dari gurU kelas, guru bidang studi, guru bimbingaj dan konseling, mengemba. peran profesional yang sangat penting dalam mempersiapkan calon pemimpin bangsa di bidang pemerintahan, sosial kemasyarakatan atau di lingkungan swasta. Dari tangan para guru tebsabut sepanjang masa diharapkan selalu siap para lulusan sebagai calon pengganti pimpinan dalam rangka pergantian generasi yang tidak saja memiliki keterampilan dan keahlian di bidangnya masing-masing, tetapi juga bermoral dan berakhlak mulia, serta berkepribadian sebagai manusia Indonesia seutuhnya.

B. PEMBAHASAN
B.1 PROFESI, PROFESIONAL, DAN PROFESIONALISME
Profesionalisme adalah suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-
kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan -- serta ikrar (fateri/profiteri) untuk menerima panggilan tersebut -- untuk dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan ditengah gelapnya kehidupan (Wignjosoebroto, 1999). Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk membedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi. Terdapat tiga watak kerja yang merupakan persyaratan dari seorang profesional, yaitu(a) harus dilandaskan itikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digelutinya (dalam artian tidak hanya mementingkan imbalan upak materiil semata);(b) harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;(c) diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral -- harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam sebuah organisasi profesi.

Pada awal pertumbuhan "paham" profesionalisme, khususnya bagi mereka yang banyak bergelut dalam ruang lingkup kegiatan yang lazim dikerjakan oleh kaum padri maupun juru dakhwah agama -- dengan jelas serta tanpa ragu memproklamirkan diri masuk kedalam golongan kaum profesional. Kaum profesional terus berupaya menjelaskan nilai-nilai kebajikan yang mereka junjung tinggi dan direalisasikan melalui keahlian serta kepakaran yang dikembangkan dengan berdasarkan wawasan keunggulan. Sementara itu pula, kaum profesional secara sadar mencoba menghimpun dirinya dalam sebuah organisasi profesi (yang cenderung dirancang secara eksklusif) yang memiliki visi dan misi untuk menjaga tegaknya kehormatan profesi, mengontrol praktek-praktek pengamalan dan pengembangan kualitas keahlian/kepakaran, serta menjaga dipatuhinya kode etik profesi yang telah disepakati bersama.
Berbicara profesi, sikap profesional maupun paham profesionalisme bidang rekayasa maupun teknologi Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET, 1993) telah mendefinisikannya sebagai "the profession in which a knowledge of
the mathematical and natural sciences gained by study, experience and practice is applied with judgement to develop ways to utilize, economically, the materials and forces of nature for the benefit of mankind". Disini ada beberapa persamaan pengertian -
- yang relevan dengan ciri dan karakteristik dari paham profesionalisme yang dianut oleh profesi lainya, yaitu seperti ditunjukkan melalui penerapan keahlian khusus (matematika, fisika dan pengetahuan ilmiah lainnya yang relevan) untuk melakukan perencanaan, perancangan (design), konstruksi, operasi dan perawatan dari produk, proses, maupun sistem kerja tertentu secara efektif-efisien guna kemaslahatan manusia. Seperti halnya dengan profesi-profesi lainnya, sikap profesional juga tidak lupa menata- dirinya dalam wadah organisasi profesi (bisa sangat spesifik/spesialistik, bisa juga umum) baik untuk lingkup nasional (negara) maupun internasional (global) dan sekaligus menerapan kode etik profesi untuk menjaga martabat, kehormatan, dan/atau itikad-itikad etis yang harus ditaati oleh mereka yang akan menerapkan keahlian serta kepakarannya semata demi dan untuk "the benefit of mankind".
Membicarakan soal kedudukan guru sebagai tenaga profesional, akan lebih tepat
kalau diawali dari pengertian profesi. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang
memerlukan pendidikan lanjut di dalamsci ence dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Berkenaan dengan pekerjaan profesional, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas;
a. memiliki pengetahuan umum yang luas
b. memiliki keahlian khusus yang mendalam
2. Merupakan karier yang dibina secara organisatoris;
a. adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesi
b. memiliki otonomi jabatan
c. memiliki kode etik jabatan
d. merupakan karya bakti seumur hidup
3. Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional;
a. memperoleh dukungan masyarakat
b. mendapat pengesahan dan perlindungan hukum
c. memiliki prasyarat kerja yang sehat
d. memiliki jaminan hidup yang layak
Bertitik tolak dari pengertian ini, maka pengertian guru atau dosen profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru atau dosen dengan kemampuan maksimal, atau dengan kata lain guru atau dosen profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.
Dari gambaran guru atau dosen yang profesional tersebut, maka kewenangan profesional guru atau dosen dituntut memiliki seperangkat kemampuan yang beraneka ragam termasuk persyaratan profesional.
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru atau dosen yang begitu kompleksnya,
maka profesi ini memerlukan persyaratan khusus antara lain sebagai berikut :
a. Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu
pengetahuan yang mendalam
b. Menekankan pada suatu keahlian di bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya
c. Menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai
d. Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang
dilaksanakannya.
e. Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.

Seorang guru profesional dapat dibedakan dari seorang teknisi, karena disamping menguasai sejumlah teknik serta prosedur kerja tertentu, seorang pekerja profesional ditandai dengan adanya informed responsiveness terhadap implikasi
kemasyarakatan dari obyek kerjanya. Hal ini berarti bahwa seorang guru harus memiliki persepsi filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Kompetensi seorang guru sebagai tenaga profesional ditandai dengan serangkaian diagnosis, rediagnosis, dan penyesuaian yang terus menerus. Selain kecermatan dan ketelitian dalam menentukan langkah guru juga harus sabar, ulet, dan telaten serta tanggap terhadap situasi dan kondisi, sehingga diakhir pekerjaannya akan membuahkan hasil yang memuaskan.
Berdasarkan pengertian profesi dengan segala persyaratannya yang telah dikemukakan, akan membawa konsekuensi yang mendasar terhadap program pendidikan terutama yang berkenaan dengan komponen tenaga kependidikan. Konsekuensi yang dimaksud adalah masalahaccoutabili ty dari program pendidikan itu sendiri. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa keberhasilan program pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peranan masyarakat secara keseluruhan. Jadi kompetensi lulusan tidak semata-mata tanggung jawab guru akan tetapi ditentukan juga oleh pemakai lulusan dan masyarakat baik secara langsung maupun tidak sebagai akibat dari adanya lulusan tersebut.
Guru merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru atau dosen. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang kependidikan walaupun kenyataanya masih dilakukan orang di luar pendidikan. Itulah sebabnya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran.
Tugas guru atau dosen sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.
Tugas dan peran guru tidaklah terbatas di dalam masyarakat, bahkan guru pada hakekatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peranan yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor
condisio sine quanon yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam
kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih-lebih pada era kontenporer ini.
Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, apabila bagi suatu bangsa
yang sedang membangun terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-
tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang makin canggih dan segala perubahan serta pergeseran nilai dan seni dalam kadar dinamik untuk dapat mengadaptasian diri.
Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin terciptanya dan terbinanya kesiapan dan keadaan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa dimasa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini, dan gerak maju dinamika kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru ditengah-tengah masyarakat.
Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar membawa konsekuensi kepada guru atau dosen untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru atau dosen. Guru atau dosen yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.

B.2 Kompetensi
Peranan dan kompetensi guru atau dosen dalam proses belajar mengajar meliputi banyak hal, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan dan partisipan.
Berdasarkan PP 19 Ps.28 Th.2005, kompetensi guru dalam kegiatan pemelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

a. Kompetensi pedagogik
Kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru terkait dengan substansi kegiatan praktik pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

b. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru terkait dengan substansi kegiatan praktik pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

c. Kompetensi profesional
Kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh seorang guru terkait dengan substansi kegiatan praktik pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

d. Kompetensi sosial
Kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang guru terkait dengan substansi kegiatan praktik pendidikan. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan bahasan kompetensi yang telah dikemukakan dapat dijelaskan bahwa tuntutan kepada seorang pendidik tidak hanya cukup menguasai bidang studi secara profesional, tetapi harus memiliki kepribadian yang mantap, sehingga dapat menjadi teladan baik di lingkungan pendidikan maupun masyarakat luas.

B.3 SERTIFIKASI
Depdiknas (2002:58) menjelaskan bahwa sertifikasi adalah pengakuan terhadap wewenang yang dimiliki seorang lulusan untuk melaksanakan tugas di suatu profesi di bidang kependidikan. Sertifikasi diberikan oleh LPTK yang berhak yaitu yang memiliki pengakuan oleh lembaga akreditasi nasional. Bidang profesi yang dinyatakan dalam sertifikasi adalah bidang yang dinyatakan berhak diberikan oleh suatu program studi berdasarkan hasil akreditasi terhadap program studi tersebut.
Glossary buku Direktorat P2TK dan KPT berusaha merumuskan istilah sertifikasi
dan sertifikat kompetensi sebagai berikut. Secara umum arti sertifikasi adalah pemberian pengakuan kepada pendidik dan non-pendidik terhadap prestasi belajar dan/ atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan atau pelatihan.
Sertifikat kompetensi adalah pengakuan atas prestasi belajar atau kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Dalam
Kepmendikbud No 013/I/1998, tertulis akta mengajar adalah surat tanda bukti penguasaan kemampuan mengajar yang diberikan oleh LPTK kepada seseorang yang telah memenuhi segala persyaratan akademik program pendidikan guru secara bersambungan.
Para praktisi sepakat bahwa sertifikasi adalah prosedur untuk memperoleh suatu tujuan pengakuan dan melibatkan pengujian yang telah memperoleh standarisasi / baku. Sertifikasi dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangn}a memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran,0jenjang, dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang dijelaskan dalam sertifikasi kompetensi (P3TK Depdiknas, 2003). Secara lebih konkrit yang dimaksud dengan sertifikasi atalah tanfa bukti kewenangan mengajar, yang selama ini lebih dikenal dengan sebutan akta mengajar. Sebagai salah satu bentuk pungakuan resmi, maka dalam melaksanakan program sertifikasi LPTK seyogyanya memiliki suatu standar tertentu yang merupakan kompetensi minimal yang harus dimiliki lulusannya, yaitu suatu standar yang ditetapkan bersama oleh LPTK dan kelompok profesi yang akan memakai lulusan tersebut.
Sertifikasi bagi peserta pendidikan merupakan upaya untuk memperoleh pengakuan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi dalam bidang keahlian tertentu melalui uji kompetensi. Selain itu, uji kompetensi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesesuaian materi pendidikan dengan tuntutan kebutuhan lapangan pekerjaan tertentu.
Untuk dapat memberikan suatu serdifikat kepada lulusan, pendidikan tinggi terlebih dahulu diharuskan mendapatkan pengakuan / akreditasi secara regional maupun internasional dari lambaga berwenang. Di Indonesia, proses sertifikasi suatu lembaga pelaTihan / dunia pend)dikan ditangani oleh komite akr%ditasi nasiofal.
Pendidikan guru secara bersambungan (consecutivE model) adalah program pendidikAn bagi calon guru yang telah menguasai ilmu, teknologi dan/atau kesenian sumber bahan ajaran, yang mengupayakan pembentukan kemampuan mengajar. Sedang pendidikan guru secara teriNtegrasi  concurrent model) adalah program pendidikan baGi calon guru yanG me.gupayakan pengeasaan ilmu, teknologi dan/atau kesenian sebagai 3umBer "ahan ajaran secara bersamaan dengan pembentukan kemampuan mengajar.

C. PENUTUP
Dari uraian pembahasan di atas kiranya dapat ditar)k s)mpulan bahwa terdapat
tiga tingkatan kualifikasi profesional guru, yaitu capability, inovator, dandeveloper.
Capability maksudnya adalah guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan
keterampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pemelajaran secara efektif.Inovator maksudnya sebagai tenaga pendidik yang memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan re&ormasi. Guru dih!rapkan m%miliki pengetahuan, kecakapan, Dan keterampilan serta sikap yaNg tepat terhadap pembaharuan dan sekaligus merUpakan penyebar ide pambaharuan yalg ef%ktIf.
DeveLoper maksudnya guru harus memiliki visi dan misi kegurean yang mantap dan
luas perspektifnya. Guru harus mampu melihat jauh ke depan dalam mengantisipasi dan
menjawab tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai suatu sistem.
Pekerjaan guru ad!lah suatu profesi yAnG berlandaskan atas dasar +eilmuan, bersifat penGabdIAn, dAn membutuhkan kecakapan dan kemampuan khusus yang terikat oleh suatu kode etik yang dibuat dan dItegakkan oleh organisasi profesi serta menuntut tanggungjawab baik secara pribadi maupun kolektif (korps).
Kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagai tenaga profesionAl adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Dari semua komptensi ini yang terpenting adalah bagaimana mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keprofesionalannya dengan berlandaskan atas kode etik yang berlaku.

Senin, 07 Februari 2011

PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI

MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI

Judul: MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.

Topik: Pendidikan
Tanggal: 9 April 2004

MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI DALAM ATMOSFER PENDIDIKAN FORMAL
(Morale Force Dealectict)

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.

Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 )

Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari.

Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ?

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain : (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.

Mencermati Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional No. 64/c/Kep/PP/2000, seorang dinyatakan tamat dari pendidikan oleh penyelenggara pendidikan jika anak tersebut memperoleh surat tanda tamat belajar, dan sebelumnya melalui pertimbangan lulus yang diukur dari nilai rapor kelas tiga cawu ketiga, nilai ebtanas murni (NEM), nilai EBTA sekolah murni (NESM), dan budi pekerti anak.

Nah ternyata Budi pekerti ini sudah tercantum dalam keputusan tersebut,terus apa yang bisa dinilai dari budi pekerti

Pendidikan budi pekerti menjadi penting artinya karena menjadi acuan untuk menentukan seorang siswa tamat atau tidak tamat Nah sekarang kita seharusnya mencermati apa yang dimaksut dengan budi pekerti Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).

Ada tiga teori mendasari pendidikan budi pekerti, yaitu teori perkembangan kognitif, teori belajar sosial, dan teori psikoanalisis. Teori pertama ini dirintis Jean Pieger kemudian dikembangan Law Kohlbegr membagi enam tahap pemikiran moral. Pertama, orientasi hadiah dan hukuman sasaran anak mulai
usia 3 tahun. Jika berbuat baik diberi hadiah .

Tahap kedua disebut orientasi relativitas instrumental yang menunjukkan dominasi kepentingan dalam kesenangan sendiri. Tahap ketiga orientasi anak manis, yang menggambarkan perilaku anak untuk menyenangkan lingkungan mereka. Tahap keempat, yaitu orientasi aturan dan ketertiban yang menunjukkan penghargaan terhadap ketertiban sosial. Tahap kelima kontrak sosial dan hak individu, yang menyatakan kepatuhan terhadap hak dan prosedurnya. Tahap keenam disebut etika universal yang berdasarkan atas hati nurani Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bias menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.

Sabtu, 05 Februari 2011

SMIP

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN
I. KONSEP SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAN SIMP
SIMP sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan menafsirkan keadaan atau perkembangan aspek-aspek pendidikan berdasar data empiris yang berkonsep.
sistem informasi manajemen adalah suatu sistem yang dirancang untuk menyediakan informasi guna mendukung pengambilan keputusan pada kegiatan manajemen (perencanaan, penggerakan, pengorganisasian, dan pengendalian) dalam organisasi.
Sistem Informasi Manajemen Pendidikan merupakan perpaduan antara sumber daya manusia dan aplikasi teknologi informasi untuk memilih, menyimpan, mengolah, dan mengambil kembali data dalam rangka mendukung kembali proses pengambilan keputusan bidang pendidikan. Data-data tersebut adalah data empiris atau data/fakta sebenarnya yang benar-benar ada dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Sistem informasi manajemen dan sistem informasi manajemen pendidikan terdiri atas empat sistem, yaitu: sistem informasi pemasaran jasa , keuangan, SDM, dan sistem operasi dalam pendidikan.
Dalam menghadapi globalisasi, sistem informasi semakin dibutuhkan oleh lembaga pendidikan, khususnya dalam meningkatkan kelancaran aliran informasi dalam lembaga pendidikan, kontrol kualitas, dan menciptakan aliansi atau kerja sama dengan pihak lain yang dapat meningkatkan nilai lembaga pendidikan tersebut.
II. RANCANGBANGUN SIMP TENTANG SISWA DAN LULUSAN DISUATU DAERAH TERTENTU
Rancangbangun SIMP tentang Siswa dan Lulusan pada suatu sekolah berisikan tentang bagaimana data yang menjadi informasi tentang siswa dan kelulusan itu didesain dan dibangun.
Data-data tersebut umumnya terdiri atas Jumlah Siswa dan Rombongan Belajar, Jumlah siswa baru yang diterima dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB), dan juga penelusuran tentang kelulusannya; tentang berapa jumlah siswa yang telah bekerja, sebagai PNS, Pegawai Swasta, Wiraswasta, melanjutkan belajar , belum bekerja maupun yang tidak diketahui.
Semua data tersebut kemudian dihitung, diolah, dikelompokkan dan selanjutnya dianalisis. Setelah melalui proses pengolahan informasi tersebut data tersebut dapat disajikan kepada pimpinan sekolah, dinas pendidikan, masyarakat/publik, sebagai bahan bagi mereka dalam mengambil keputusan pendidikan.
Penyajian atau publikasi data yang telah menjadi informasi tersebut dapat dilakukan dengan cara; manual (paper) maupun dengan teknologi informasi (audio, visual maupun jaringan/ Website sekolah).
1. Contoh Tabel informasi tentang Jumlah Siswa dan rombongan belajar
No. Jenis Kelas Kelas dan Jumlah Jumlah
Kelas X Kelas XI Kelas XII Rombel Siswa
Rombel Siswa Rombel Siswa Rombel Siswa
4. Reguler 11 415 9 358 9 307 29 1073